Aku tidak pernah mengerti dimana keistimewaan hujan di mataku. Tapi aku senang ketika rinainya turun satu-satu, lalu semakin deras dan deras. Senang, ketika aromanya menguar, berbaur bersama ribuan partikel udaranya yang melewatinya tanpa henti. Senang, ketika ia mengetukkan tubuhnya pada permukaan kaca jendela untuk menemaniku. Senang, ketika ia memelukku dengan caranya yang hangat. Senang, ketika ia mengingatkanku akan dia. Dia yang selalu menari di bawah rinai hujan. Dia yang selalu asyik dengan dunianya, namun mengerti aku luar dalam.
---
Sore ini mendung menggantung menghiasi langit yang sudah kelabu akan tidak hadirnya matahari. Hawa dingin menyusup, meresap, melewati setiap pori-pori dinding kamarku. Perlahan, rinai-rinai air hujan memburamkan kaca jendelaku, mengetuk-ngetuknya pelan, membuat perhatianku sedikit terusik.
Lewat buramnya kaca jendela, kulihat seseorang dalam balutan celana tiga per-empat dan kaos oblong berwarna coklat. Bulir-bulir air menggantung di beberapa bagian rambutnya yang sedikit gondrong. Kepalanya sedikit ia dongakkan, dan tangannya terbuka, bagaikan sayap rajawali yang terkepak lebar. Perlahan, ku lihat ia berputar-putar, masih dengan tangan yang terbuka lebar dan kepalanya yang didongakkan.
Bingung, aku kembali pada kesibukanku, menyelesaikan tulisan yang akan ku posting di sebuah account milikku.
Tiba-tiba gemuruh bergaung, diikuti patahan keemasan langit yang mengerikan. Seketika aku terlonjak kaget--
Bersamaan dengan itu dia terjongkok, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, takut. Bimbang, rasanya ingin aku menolongnya, tapi aku pun juga takut akan datangnya petir dan gemuruh yang lebih mengerikan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar