Pages

Nostalgia ( Cerpen )

Rabu, 18 Mei 2011

Ku tatapi tempat ini, gedung bercat krem susu serta putih. Dibeberapa bagian temboknya, cat-catnya sudah mulai mengelupas. Lumut-lumut juga mulai tumbuh dibeberapa tempat. Pohon Flamboyan yang menjadi ciri khas gedung ini, masih berdiri kokoh di sisi sebelah kanan gedung ini. Bolam kuning itu, juga masih menghiasi pelataran gedung ini. Halaman gedung ini, masih sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung ini. Semua masih sama. Meja piket di sisi kanan, papan pengumuman di sisi kiri. Semua benar-benar masih sama. Bahkan saat aku berjalan di koridor gedung ini, rasanya masih sama seperti saat aku berjalan di sini untuk pertama kalinya. Sama seperti saat dimana aku harus menanggalkan pakaian putih-merah-ku dengan putih-biru yang sekarang sudah tak cukup lagi untuk ku pakai.
Tempat ini adalah tempat dimana pertama kalinya aku mencicipi apa yang dinamakan cinta monyet, dan merasakan apa yang dinamakan patah hati.
*
Juli 1989
                Ku tatapi huruf-huruf dan angka bercat biru laut yang bertengger kokoh di gapura gedung ini. SMP N 1 Semarang, huruf-huruf dan angka itu membentuk tulisan seperti itu. Ku dongakkan kepalaku. Ku lihat Ayah tersenyum padaku.
                “ Ayo kita masuk!” ucapnya sambil merangkul pundakku.
Aku mengangguk. Ku ikuti langkah kakinya yang memasuki gedung ini. Di dalam, ku lihat anak-anak seumurankubersama orang tua mereka, memenuhi koridor gedung ini. Ku lihat para guruyang nantinya mungkin juga akan menjadi gurukumemberikan pengarahan bagi para orang tua murid.
                “ Ayo kita lihat, dimana kamu ditempatkan!” Ayah menggandeng tanganku menuju sebuah papan pengumuman di sisi kiri pintu gedung ini. Ayah dan aku berdesak-desakkan dengan banyak manusia di tempat ini. Sampai di depan papan pengumuman, ku lihat namaku di se-gerombolan nama di kelas 7.3.
                “ Yah, aku ditempatkan di kelas 7.3!” ucapku sedikit berteriak.
Ayah dan aku segera keluar dari gerombolan manusia yang semakin menyeruak itu. Dengan langkah kaki yang mantap, aku dan ayah menuju ke kelas 7.3, kelas dimana aku akan bertemu dengan teman-teman baru, dan kelas dimana aku akan memulai hidupku yang baru, hidup sebagai murid SMP.
*
Ku lihat semua meja telah terisi, hanya tinggal meja di pojokan kelas ini saja yang tersisa. Dengan sigap, kulangkahkan kakiku lebar-lebar ke arah meja tersebut. Setelah kutaruh tasku, kukeluarkan alat tulis beserta buku tulis yang masih kosong di atas meja. Baru saja aku menutup resleting tasku, sebuah suara telah mengajakku bicara.
                “ Aku boleh duduk di sini?” tanya suara itu. Kulihat seorang anak seumuranku sudah berdiri tegap di samping meja. Potongan rambutnya sedikit cepak. Kemeja dan celana panjang birunya, masih terlihat sangat baru. Tas ransel hitam, bertengger kokoh di kedua pundaknya.
Dengan sedikit kecanggungan aku mengangguk. Berdiri dan keluar dari meja tempatku duduk tadi. Setelah dia duduk dan menaruh tasnya, aku kembali duduk. Ku lihat ia sedang mengeluarkan alat tulis dan buku kosong sepertiku tadi. Karena tidak ingin ketahuan, aku segera mengalihkan pandanganku kembali ke depan.
                “ Namamu siapa? Aku Deva,” ucapnya sambil menyodorkan tangannya.
Aku menengok, menatap tangannya yang disodorkannya, lalu menatap wajahnya. Sebuah senyuman terlukis di kedua sudut bibirnya. “ Aku Ray,” jawabku sambil menjabat tangannya, lalu melepaskannya. Ia juga kembali menarik tangannya.
                “ Dulu kamu dari SD mana?” tanyanya sambil membenarkan posisi badannya agar bisa menatapku.
                “ Em..SD Pangukatan,” jawabku mantap “ kamu?”
                “ SD Joyopurno.”
                                                         
                                                                            *


Oktober 1990
                Kulirik se-gerombolan gadis yang sedang mengobrol di meja yang terletak di pojokan kantin. Ia ada diantara mereka. Dan sejujurnya, memang hanya ia yang aku cari. Ia yang memiliki kedua pipi yang chubby, rambut panjang se-pinggang, senyuman yang manis. Ia yang sudah benar-benar membius perhatianku setiap istirahat. Ia yang sudah benar-benar membuatku gila akan dirinyajika aku tak melihatnya. Dan ia yang sudah membuat hatiku ber-konser ria, setiap aku melihatnya.
Kulihat ia tertawa dengan teman-temannya di sana. Melihat tawanya itu, membuat suhu tubuhkusecara drastismenjadi naik. Tiba-tiba saja ia mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan canggung. Setelah itu ia kembali mengobrol dengan teman-temannya.
Itu pertama kalinya ia tersenyum ke arahkusetelah berbulan-bulan aku memata-matainya. Oh, tuhan sungguh manis sekali bidadari-Mu ini!
Aku merasakan pundakku ditepuk seseorang. Ku tengokkan kepalaku. Deva sudah bertengger di sampingku, dengan kedua tangan yang penuh dengan pesanan kami. Aku membantunya dengan menaruh pesanan kami di atas meja.
                “ Thanks ya, Dev,” ucapku sembari memasukkan sambel ke dalam mangkuk yang berisikan 4 butir bakso, dan beberapa mie kuning.
                “ Iya, sama-sama..” Deva terlihat sedang menyedot Jus Mangganya. “ Kamu beneran suka sama Acha?” tanyanya sambil mengaduk-ngaduk jusnya dengan sedotan.
Aku hanya mengangguk sembari mencampurkan sambel, kecap, saos  serta bakso-baksoku menjadi satu.
                “ Nanti ekskulkan? Kamu nungguin aku gak papa-kan, Ray?”
                “ Oh.. gak papa. Sekalian, aku nanti mau cari-cari informasi untuk tugas Biologi di perpus..”
*
                Seperti kataku tadi pada Deva, aku akan menunggunya sambil mencari-cari informasi untuk tugas Biologi di perpustakaan. Dengan langkah gontai, aku melenggang ke dalam perpustakaan yang sepi. Aku menyusuri setiap rak buku dengan saksama. Saat aku akan mengambil buku yang akan ku gunakan, aku melihat iaAchadengan seorang lelaki. Sepertinya ia kakak kelas, dan sepertinya aku kenal. Kalau tak salah ia Mas Ozy.
Aku memilih untuk mengintip mereka dari balik rak (ini tidak baik untuk ditiru). Ku lihat Mas Ozy memberikan setangkai Bunga Lily pada Acha. Lalu mengucapkan beberapa patah kata.
                “ Acha, maukah kamu menjadi kekasihku?” Mas Ozy terlihat sangat gugup saat itu.
Aku tak dapat melihat Acha dengan jelas, karena ia tertutupi oleh Mas Ozy. Tapisekilasdapat ku lihat bahwa ia mengangguk. Apa ini artinya ia menerima Mas Ozy sebagai kekasihnya? Dadaku terasa sangat perih saat itu. Seperti ada dua bilah pisau yang menyayatnya. Tanpa ku sadari, aku menjatuhkan buku-buku yang ada di rak tempatku bersembunyi, dan itu mengusik perhatian Acha dan Mas Ozy. Seketika mereka menengok ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum menyeringaimerasa tidak tahu kejadian apa yang baru saja berlangsung.
                 “ Maaf.. maaf, aku gangguin,” ucapku buru-buru sembari membereskan buku-buku yang jatuh.
                 “ Gak papa kok.” Mas Ozy melangkah ke arahku, lalu membantuku mengembalikan buku-buku itu ke kandang mereka.
Setelah semua buku-buku yang jatuh itu kembali ke kandang mereka, aku buru-buru pamit. Tak kuat rasanya jika aku harus melihat mereka berdua lebih lama. Akan bertambah perih ini jika itu ku lakukan.
*
Ku tatapi buih-buih air yang menggantung di permukaan botol air mineralku. Satu persatu dari mereka lumpuh, meninggalkan seberkas garis vertikal, yang lama kelamaan akan menghilang digantikan dengan buih-buih lainnya. Rasa sakit ini lebih sakit dari rasa sakit biasa. Apa ini yang dinamakan patah hati?
Ku rasakan pundakku ditepuk. Aku menoleh. Ku lihat Deva dan pakaian sepak bolanya basah bermandikan keringat. Wajahnya terlihat sangat merah. Ku tatapi botol air mineralku, lalu menyodorkannya pada Deva. Ia mengambilnya lalu memutar penutupnya dan meneguknya sampai hanya tersisa setengah – atau bahkan seperempat mungkin. Ia mengelap bekas minuman yang tersisa di bibirnya dengan tempurung tangannya, lalu kembali menyodorkan botol itu padaku.
                 “ Makasih ya!” ucapnya. Aku hanya tersenyum masam sembari mengambil botol air mineralku.


                 “ Gimana udah dapet informasi buat tugas Biologi?” aku menggeleng lemah.“ Lemes amat, Ray?” aku  mendongak ke arahnya.
                 “ Dev, yang namanya luka di hati itu lebih perih dari luka biasa, ya?” tanyaku polos.
                 “ Maksud kamu sakit hati?” aku mengangguk. “ Ya gitu, Ray. Emang kenapa? Kamu lagi sakit hati?”
Aku kembali mengangguk–bahkan sekarang lebih lemah.
                 “ Emang ada kejadian apa, sampai kamu sakit hati gini?”
Aku menceritakan semua kejadian di perpustakaan pada Deva, dan ia tersenyum mengerti sambil menepuk-nepuk punggungku pelan.
                 “ Udah gak usah sedih. Masih banyak bukan gadis lain selain Acha?” katanya bijak. Aku tersenyum mendengarnya. Lalu berkata,
                 “ Tumben kamu bijak, Dev?”
                 “ Emang baru kali ini aku bijak?” Aku mengangguk, lalu kami tertawa berdua.
*
Maret 1992
                Bulan ini adalah bulan kelulusan kami, dan aku sangat gembira akan itu. Tetapi, tetap ada rasa sedih yang menyelimuti diriku. Aku harus menanggalkan pakaian yang telah menemaniku selama tiga tahun ini, lalu menggantinya dengan pakaian baru. Dan, aku harus meninggalkan sekolah ini dan menuju ke pijakan selanjutnya.
                 “ Dev, udah tahu mau masuk sekolah mana?” tanyaku, saat kami sedang berada di lapangan sepak bola sekolah.
                 “ Aku belum tahu. Kamu?”
Aku menggeleng. “ Belum tahu juga, Dev. Tapi aku pinginnya kita satu sekolah lagi."
                 
                 “ Aku juga.”
                 “ Dev, aku harap kita bisa jadi sahabat untuk selamanya.” ucapku, sambil memandang Matahari yang mulai menyongsong ke ufuk barat.
                 “ Berjuang bersama-sama, sampai kakek-kakek,” sambung Deva sambil tersenyum.
Aku menengok ke arahnya, ia juga menengok ke arahku. Kami sama-sama tersenyum, lalu saling merangkul satu sama lain, sambil menuju ke tempat parkir, tempat kami memarkir sepeda kami.
*
                Tiba-tiba semua buyar bersamaan dengan sebuah tepukan yang mendarat di pundakku. Aku menoleh. Ku dapati seseorang dengan kemeja dan celana jins hitam tersenyum padaku, memperlihatkan deretan giginya yang tertata rapi. Aku merangkulnya, lalu bersama-sama berjalan beriringan kelaur kelas.
                  “ Loe sekarang udah besar ya, Dev?” tanyaku sembari menepuk-nepuk pundaknya pelan.
      “ Hahaha..,” ia tertawa. “ Loe juga kali, Ray!”
*
                Bersamamu ku habiskan
    Senang bisa mengenal dirimu
    Rasa semua begitu sempurna
    Sayang untuk mengakhirinya
    Janganlah berganti
    ( Ipang-Sahabat Kecil)
                                                                          *
Ini cerpen yang aku buat karena kangen masa-masa di Sekolah Dasar (SD). Tapi kalo aku buat ini dalam bentuk SD cerita ini bisa sepanjang gerbomg kereta, so, I made it when Ray in Junior High School.
Hope you like it :)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar