Pages

Hai!

Selasa, 05 Juni 2012

PEREMPUAN itu terduduk di sudut ruangan. Tatapannya memburu pada percikan air di luar kafe. Napasnya menderu, selaras dengan detakan jantungnya. Tangannya berkeringat. Otaknya berpikir keras, mencari kata demi kata yang pas untuk ia berikan pada dia—apakah ia perlu menggunakan bahasa yang formal? Atau mungkin bahasa sehari-hari? Apa yang harus ia tulis untuk awal suratnya? Basa-basi? Atau langsung mengutarakan tujuannya? Ah, ia memang tidak pandai membuat surat macam surat cinta, terlebih untuk dikirimkan kepada seseorang—dia.

Ya, dia, lelaki, yang dikenalnya setahun yang lalu. Dia, lelaki yang ia ketahui sangatlah pintar dalam bidang olahraga. Dia, lelaki yang sangat senang mengumbar senyuman, pada guru-guru, teman-temannya, dan pada para junior-nya. Dia, lelaki yang sangat menyukai warna merah. Dia, lelaki yang ia akui merupakan jelmaan pembalap tingkat dunia. Dia, lelaki yang sangat sulit mengontrol emosi. Dia, lelaki yang selalu datang pukul setengah 7 pagi dengan tatapan teduh pada kedua lembayung matanya. Dan euphoria-euphoria itu yang mengadiksi perempuan itu setiap paginya.


Hah, perempuan itu mendesah saru. Ia selalu ragu akan apa yang ia tulis. Ia takut jika lelaki itu tidak senang. Ia takut jika ia salah; ia takut jika apa yang ia tulis bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan. Ia takut untuk kembali berbohong, pada perasaannya, pada lelaki itu. Ia hanya ingin jujur, meski tidak secara langsung dan terkesan menguntit. Yang ia inginkan hanya satu, lelaki itu tahu perasaannya.


Setengah jam sudah. Tangannya pun makin berkeringat karena gelisah. Kepalanya mulai terasa pening karena memilah kata tanpa henti. Dan, belum ada satu kata yang ia rasa pas untuk dituliskan pada selembar kertas di hadapannya.


Perempuan itu semakin gundah. Apa ia tidak jadi memberitahu lelaki itu dan menjadikan hatinya menjadi korban kebohongannya lagi? Ia sebenarnya sudah menerka, lelaki itu tidak akan pernah mengira bahwa pengirim surat-tak-bertuan itu adalah dirinya, karena ia lebih senang berkamuflase dalam kubu dunianya sendiri. Ia jarang berbaur dengan teman-temannya, kecuali satu dari mereka mengajaknya untuk bergabung. Selebihnya, ia lebih senang menyendiri dan tertutup.


Ayolah! Batinnya makin bergejolak. Paling tidak satu kata saja! Kukunya sudah hampir habis karena digigiti. Kegalauan makin memeluknya.


Baiklah. Ia menyerah. Ditulisnya satu kata, lalu diikuti tiga kata retoris lain. Di kanan bawah ia bubuhi satu kata penunjang dalam namanya. Dibacanya lagi empat kata tadi, lalu dilipatnya kertas itu, dan dimasukkannya pada amplop berwarna biru. Surat ini akan ia taruh di meja lelaki itu besok pagi.


Perempuan itu melangkah ringan keluar dari kafe setelah membayar. Seulas senyum terkembang di kedua sudut bibirnya. Ia sudah tidak sabar menunggu fajar kembali datang esok hari.


Hai!
Aku. Suka. Kamu.
                                                                                         Ann.


--


Don't ask me anything about this one.


Any criticisms? Thank you, before.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar